New Years Eve for Rena

New Year Eve…

Hujan di penghujung senja Desember mengalunkan nada-nada orchestra alam yang membasahi lantai bumi. Pekat serbuk embun pelahan merambat sunyi. Menghadirkan aroma senyawa hara yang menyelami setiap waktu yang pernah terlewati bersamamu. Aku masih suka duduk disini, di balkon rumahku memandangi hujan seakan menghitung setiap titiknya. Dulu aku bilang kau aneh, karena setiap kali kau menikmati hujan kau selalu memejamkan matamu. Tapi kau selalu menjawab, bahwa hujan bukan sekedar tetesan air yang jatuh ke bumi tapi melodi alam yang mampu membawa kita beranjak menuju negeri kedamaian.

“Cobalah kau pejamkan matamu dan tajamkan pendengaranmu Rena, resapi irama titik hujan yang mengalun bersama desau angin. Seolah mendengar orchestra alam sederhana dan makhluk-makhluk dari negeri langit menyanyikan lagu dan berpesta”. Kata Rey padaku di suatu senja hujan.

“Kau benar Rey, dan makhluk-makhluk dari negeri langit yang kau maksud adalah kodok-kodok yang sedang bernyanyi dan berpesta karena hujan turun bukan? Hahaha..” Aku tertawa. Kau kesal dan kau mencubit kedua pipiku hingga mengaduh kesakitan.

Aku masih duduk disini untuk tetap memandangi hujan. Mengenangmu dalam memoriku yang masih tertinggal, sebab hanya pada derai hujan aku menemukan sosok Rey dan menguraikan segala keluh dukaku di setiap tetesannya.

***

Masih ingatkah kau, Rey?

Dulu setiap kali kita memandangi hujan kau selalu memetikan gitar dan melantunkan lagu ‘Hujan’ untuk aku. Namun tiba-tiba, di suatu hujan diatas balkon rumahmu ada yang merebut gitarmu dengan kasar dan membantingnya.

“Braakk…!!” gitar coklat tua itu pun hancur berantakan. Kulihat ayahmu berdiri penuh amarah belum puas melampiaskannya, dia pun menginjak-injak serpihan gitar itu. Sementara kau hanya tertunduk dalam. Kita hanya mematung seakan terpaku pada bumi bahkan untuk bernafas pun sesak.

“Belajar yang serius, bukan malah jrang jreng jrang jreng. Mau jadi apa kamu?! Lihat Laluna yang selalu jadi juara, apa kamu tidak malu?! Mulai sekarang ayah tak mengizinkan kau memegang benda keparat ini. Paham kau!?!” suara ayah Rey menggelegar memecah keheningan malam yang hujan. Kami hanya menunduk dan ayah Rey membalikan tubuhnya kemudian pergi. Aku memandangi Rey dengan mata yang berkaca-kaca tapi kau tersenyum getir, mencoba menguatkan aku seolah tak terjadi apapun. Perlahan kau genggam jemariku dan memeluk tubuhku yang mungil hingga tangisku pun pecah.

***

Di malam pergantian tahun gerimis perlahan turun dan aku hanya duduk di balkon sambil memandangi langit yang semakin hitam. Tiba-tiba.

“Daaarr…” kau datang mengagetkan aku. Aku terkejut dan kau terkekeh, aku kesal dan cemberut tapi kau malah mencubit kedua pipiku sambil tersenyum. Aku pun tersenyum.

“Kau tunggu sebentar disini, aku punya sesuatu buat kamu” kataku.

“Apa?” Tanyamu sambil mengerutkan kening tapi aku hanya tersenyum penuh rahasia dan kemudian pergi.

“Ini kado tahun baru buat kamu” kataku seraya memberikan gitar kepadamu.

“Darimana kau punya uang untuk membeli gitar ini?” Tanyamu penasaran tapi tak mampu menutupi perasaan senang dan kaget.

“Tenang saja, aku punya tabungan kok. Lumayanlah biarpun gak mahal yang penting kamu bisa main gitar lagi.” Jawabku sambil tersenyum dan kau mencium keningku kemudian memetikan gitarmu dan melantunkan lagu ‘Hujan’.

***

Tahun baru di sebuah desa di lereng gunung Bromo.

“Rena, aku bersyukur Tuhan telah mengirimkan bidadari untukku. Aku tak tahu bagaimana jika kau tak ada di sampingku.” Bisik Rey lirih.

“Melihat kau tersenyum dan bahagia adalah hal terindah yang aku miliki, Rey.” Jawabku.

Di langit mendung mulai menggantung. Rintik gerimis perlahan menjatuhi daun-daun rimbun flamboyant. Kami berteduh dibawah rantingnya yang lebat. Hujan semakin deras.

“Kau tahu Rena betapa aku sangat mencintai hujan dengan segala keindahannya tapi semua itu hanya kehampaan jika kau tak ada, karena kaulah yang telah menyempurnakannya menjadi indah dan bersahaja.” Ucapmu, kau belai keningku yang basah oleh titik-titik hujan dan menciumnya. ‘Tuhan, jika ada kebahagiaan terindah di malam pergantian tahun maka rasanya tak ada yang mampu menandingi kebahagiaanku malam ini.’

Pada pagi di tahun baru, di puncak Bromo, kau mengajakku menuju salah satu bibir kawah Bromo, melewati hamparan gurun pasir. Kita menyaksikan matahari yang jatuh tergelincir jatuh di balik gunung Semeru. Kita mengagumi pusaran angin yang bergelung-gelung, membuat pasir-pasir berjumpalitan dan seolah saling berbisik menyeru kepada angin yang menerbangkan butirannya. Kami pun bersaksi atas nama cinta dari Sang Penguasa Semesta yang perlahan mengalir kian deras dalam nadi.

***

Tahun Baru di lereng gunung Halimun Salak

Kabut dan kegelapan perlahan menyelimuti bumi. Aku dan Rey hanya duduk di bale bambu di tengah hutan pinus dan cemara, menatap rinai hujan yang menderas tanpa henti sejak pukul dua siang. Gemuruh petir dan halilintar pun saling bersahutan. Mahatari bener-benar tak menampakan cahayanya. Kulihat wajah Rey menyiratkan kekecewaan meski dia tetap menikmati hujan seperti biasanya. Rey memang ingin mencapai Kawah Ratu dan merayakan detik-detik pergantian tahun di bibir kawah, tapi alam berkata lain. Aku pun berharap hujan segera berhenti dan menyisakan kilauan pelangi sang masterpiece untuk kami.

“Jika boleh aku meminta kepada Tuhan. Aku ingin waktu berhenti disini, saat kita menikmati hujan di malam pergantian tahun. Hanya kau dan aku. Aku mencintaimu, Rena.” Ucapmu lirih sambil memelukku yang duduk berdampingan kemudian mencium keningku. Air mataku pun perlahan bergulir mengaliri kedua pipiku, aku bahagia. Do’a kasih bergulir pada setiap detak jantungku seolah merayakan cinta, Rey dan Rena.

***

Tahun baru di Danau Ranu Kumbolo

“Kau tahu Rena, Danau Ranu Kumbolo ini adalah satu dari sejuta mimpiku untuk berada disini bersamamu! Here we come!” teriakmu ketika kita tiba di desa Ranu Pane. Hujan baru saja berhenti di senja Danau Ranu Kumbolo. Pukul dua sore, cuaca telah berkabut dan sangat dingin. Matahari pun mulai tenggelam di ufuk barat, membawa cahaya hangatnya. Danau di pegunungan Tengger-Semeru dengan ketinggian 2500 meter di atas permukaan laut menyuguhkan keindahan panorama alam yang luar biasa. Sawah-sawah menghampar luas, kabut tipis keemasan perlahan melayang-layang di atas permukaan danau.

“Lihatlah, itu Mahameru. Puncak abadi para dewa. Mahameru adalah puncak impian setiap pendaki.” Bisikmu seraya memelukku yang menahan gigil di sekujur tubuh meski telah terbalut lapisan-lapisan baju penghangat. Asap tipis keluar dari hidung dan mulutmu saat kau berbicara sambil memandang puncak Semeru yang mengepulkan wedus gembel setiap 15 menit.

“Kau ingin mencoba tanjakan cinta? Konon, jika kita berhasil melewati tanjakan terjal itu tanpa menoleh ke belakang, harapan cinta kita akan terkabul.” Ucapmu seolah menantangku untuk mendaki tanjakan cinta.

“Buat apa aku mendaki tanjakan cinta jika cintaku telah tercapai bahkan kini sedang memelukku?” jawabku sambil mendelik ke arahmu. Kau tertawa dan mengeratkan pelukanmu, aku tersenyum. Harapan keabadian cinta pun turut mengalir dalam setiap denyut nadi kami diatas bumi keindahan Ranu Kumbolo.

***

Hari-hari selanjutnya berlalu dengan di penuhi poster-poster konser music sebuah grup band yang sedang naik daun. Aku bahagia, Rey telah mampu menunjukan kemampuannya pada semua orang termasuk ayahnya. Pertemuan kami pun menjadi kian jarang, bahkan kecanggihan telekomunikasi pun tak dapat menjembatani kerinduanku pada Rey. Tapi aku mencoba memahaminya, karena memang begitulah resiko menjadi pacar seorang gitaris band ternama, ucap Rey mencoba menghiburku.

Di malam penghujung tahun disela-sela kesibukan kru yang mempersiapkan konser terbesar akhir tahun kami berjanji untuk bertemu.

“Apa kabarmu sekarang?” tanyaku ragu.

“Aku baik-baik saja. Kau bagaimana, Rena? Maaf, aku belum sempat ke rumahmu apalagi merayakan pergantian tahun bersamamu seperti tahun-tahun sebelumnya.” Ucapnya diantara kesibukan orang-orang di sekitar kami.

“Kau semakin tak punya waktu. Aku tak berharap banyak bisa seperti tahun-tahun kemarin.” Kataku tak menutupi kecewaku padanya.

“Jangan berbicara begitu, sayang. Aku janji setelah konser ini akan bersamamu. Kau sabar yah.” Dia menatapku dengan senyum manisnya. Dia tahu aku tak akan sanggup menolaknya dan akhirnya mengangguk.

“Oke, I’m waiting. Tapi jangan ingkar janji lagi.” Kataku.

“Pasti, aku janji.” Jawabnya yakin sambil mengangkat jari kelingkingnya seperti anak kecil yang mengajak meminta maaf, aku membalasnya. Dan kami saling menautkan jari kelingking, janji.

“Rey, semua sudah siap, tinggal elo.” Tiba-tiba seorang gadis cantik muncul dari balik ruang. Rey bergegas memberiku satu kecupan di kening.

Terompet tahun baru bersahutan dari segala penjuru dan pesta kembang api pun turut mewarnainya. Rey mengajakku untuk menikmati kembang api dari balkon hotel tempat kami bertemu. Tak lama kemudian rintik hujan menetes membasahi orang-orang yang sedang berpesta di jalanan.

“Tahun depan jadwalku semakin padat. Kau tahu Rena penjualan kami semakin melejit. Jessie sudah mengatur tour kami di seluruh Indonesia bahkan rencana untuk konser di luar negeri juga. Jessie memang manager yang pantas untuk diandalakan.” Kulihat Rey begitu bahagia malam ini. Sesekali percikan kembang api menerangi wajahnya yang semakin gagah.

“Aku tahu dan itu berarti sangat kecil kemungkinan untuk kita bisa mendaki gunung bersama lagi seperti dulu. Mungkin juga nanti aku tak bisa lagi menghabiskan malam-malam pergantian tahun bersamamu dan kita akan semakin jarang bertemu bukan?” Kataku datar.

“Aku akan mengaturnya sebaik mungkin. Tenang saja Rena, kau adalah prioritasku.” Dia merengkuh tubuhku dengan bahunya yang kekar dan mencium keningku, perlahan kehangatan seakan mengalir ke dalam tubuhku.

“Aku ingin kau selalu memakainya.” Kataku sambil mengalungkan scraft di lehernya.

Kami melewati malam diantara gerimis. Menelusuri sepanjang kota, menikmati kuliner yang berjajar di kaki lima, dan berlarian di bawah hujan. Malam yang panjang terasa begitu singkat bagiku. Rey mengantarku ke hotel setelah fajar mulai datang. Setelah mengucapkan selamat tinggal dia pun berlalu, sejenak dia berbalik kemudian mengikatkan scraft dilehernya dan berbisik, “thank’s, Rena.”

Aku mengangguk dan hendak berbalik masuk tapi tiba-tiba kau menarik tanganku.

“Maafkan aku, Rena. Aku harus pindah ke Bandung dan akan segera menikah dengan gadis pilihan Ayah.” Ucapmu pelan namun penuh kesungguhan. Aku bagai disambar petir di siang hari, tiba-tiba tubuhku terasa lemas dan penuh ketidakpercayaan.

“Apa maksudmu, Rey?” Ucapku seraya menahan air mata, kau hanya diam.

“Rey, jawab aku. Apa maksudmu?” Kataku dengan nada yang mulai meninggi. Tapi kau masih diam dan kemudian berbalik meninggalkan aku di depan pintu hotel. Hujan di awal tahun terus menderas seperti tahun-tahun lalu saat bersamamu.
***

Aku masih duduk disini, di balkon rumahku memandangi hujan seakan menghitung setiap titiknya. Mendengar orchestra alam sederhana dan makhluk-makhluk dari negeri langit menyanyikan lagu, seperti katamu dulu.

“Kak Rena, ini ada surat untukmu dari Kak Rey. Kak Rey menitipkan surat ini tapi tidak boleh di buka sebelum tahun malan pergantian tahun. Dan malam ini adalah malam yang tepat, malam pergantian tahun. Seperti pesan Ka Rey.” Kata Nadine yang entah sejak kapan berdiri di belakangku. Aku menerima surat itu dengan gemetar. Perlahan aku buka surat itu. Tulisan tangan Rey.

“Malam ini adalah malam pergantian tahun. Telah banyak kenangan yang kita ukir bersama pada detik-detiknya. Kau selalu bahagia untuk menantinya meski hujan selalu turun. Aku pun turut berbahagia karena dari tempatku berada, aku percaya aku dapat melihatmu. Melihatmu tersenyum meski tak lagi di bersamamu.

Maafkan aku, Rena. Karena aku telah menginggalkanmu tapi sebenarnya aku tak pernah benar-benar melakukannya. Aku pergi bukan untuk menginggalkanmu tapi untuk menjadi abadi bersamamu.

Maafkan aku, Rena.

Aku yang mencintaimu dan akan terus mencintaimu. Hari ini, esok, dan seterusnya.

Reyhan.”

Tanpa terasa air mataku menetes. Aku mengigit bibir, berusaha menahan hujan di mataku. Tapi aku tak kuasa, air mataku kian menderas.

“Maafkan Kak Rey. Aku tahu selama ini Ka Rena terluka, kecewa, dan marah padanya. Tiga bulan yang lalu media memberitakan Rey pindah ke Paris untuk melanjutkan studinya adalah kebohongan begitu pula dengan pernikahanya. Kanker otak telah merenggut nyawa Ka Rey. Kanker otak yang memang telah lama menjalari tubuhnya tapi dia tak mau ada yang mengetahuinya termasuk Ka Rena. Dia tak mau Ka Rena menangis, karena kata Kak Rey, ‘aku lebih baik melihat Rena marah daripada harus melihat Rena menangis’.”

Titik-titik air memenuhi bulu mataku diantara terpaan angin dan hujan. Tapi aku masih duduk disini. Menghitung setiap tetesan air yang jatuh ke bumi, mendengar dengan samar nyanyian dari negeri kedamaian. Tapi kini nyanyian itu terdengar begitu jelas, begitu dekat, kerena nyanyian itu melantun dari palung hatiku. Aku mencintaimu, Rey.

…The End…

Vina Nur Azizah

Happy New Year 2014

 

Categories: Short Story | Tinggalkan komentar

Navigasi pos

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.

Wonderful Learning.

Budi Waluyo | Let's break the limits..!!

Vina Nur Azizah

Moeslimah's Learner Enthusiast

Study English

Just Believed to God

Icha_chan

Hello guys, welcome to my blog ^^. Here you can search knowledge or some info about Korea

welcome to my blog

let's share what you have