Short Story

When I remember

Oleh: Vina Nur  Azizah

Hujan pecah di tanganku. Dingin.. kelu.. tapi ku tak mau beranjak. Satu-satu kristal hangat menjalar ke sekian kali. Tepian sungai temaram terbalut senja yang basah. Putih memucat menyerbukkan bara kepedihan. Tapi aku terlanjur terpasung hatimu. meski entah di mana, kini ku merasa kau berdiri di sini. Di depanku. Selapis senyum terukir memeluk kenangan itu. Ingatkah kau? Mungkin tidak, mungkin iya. Aku bukan ilusionis yang bisa tepat membidik warna hati. Hanya senyumanmu serasa meleburkankan semua rindu dan dendam itu dalam waktu yang bersamaan. Gelombang luka menghitam di jantung. Aku mencibir bayangmu.
Semoga takkan ada lagi suara yang mengguncang alam kehidupanku. Semoga!

Categories: Short Story | Tinggalkan komentar

Antara Dua Dimensi

Bandung, Minggu 27 Februari 2011

Suara musik memekakan telinga, meraung-raung memecah setiap sudut ruang rumah kost Big Boy. Sebuah pintu kamar terbuka lebar. Seorang pemuda berambut gondrong acak-acakan asyik tidur-tiduran sambil membulak-balikan majalah Playboy. Jam berdentang dua belas kali. Malam semakin merapat pada kelam, menghembuskan aroma dingin angin malam.

Aldo, pemuda dengan rambut gondrong acak-acakan dengan gerakan sekenanya mengeluarkan sesuatu yang dia simpan dalam lacinya. Dia membuka dan mengeluarkan isi kotak kecil berisi lintingan seperti rokok. Dengan satu hisapan panjang, Aldo telah melayang menembus dimensi lain. Di kamar yang lain ada sepasang pemuda-pemudi yang sedang berasyik-masyuk. Jandela dan pintu tertutup rapat, gorden tebal mengisolasi penghuninya.

***

Jakarta, waktu yang sama

Fajar, pemuda seusia Aldo asyik mecubit-cubit bibir bawahya. Pikirannya melayang pada percakapannnya dengan Mr. Jonathan.

“Jikalau bisa, kenapa tidak kau coba memamerkan lukisan-lukisan ini di pameran-pameran?” Tanya Mr. Jonathan seraya menaut-nautkan lukisan kanvas di atas pagar.

“Tidak Mr. Jonathan, terima kasih untuk tawaran anda karena untuk membeli bingkai saja aku tidak mampu.” Ucap Fajar tersenyum, sesekali tangannya masih menggoreskan warna pada kanvas di hadapannya.

“Aku bisa bantu. Tidak perlu biaya, kau hanya perlu menyiapkan lukisan-lukisan terbaik kamu saja. Dan saya yang akan mengurusnya.” Ujar Mr. Jonathan

“Ah… yang benar saja Mr. Jonathan?” Tanya Fajar kembali sambil tersenyum, dengan penuh rasa tidak percaya.

“Aku tidak sedang bergurau, ini serius. Hari ini aku bawa satu lukisanmu, kebetulan dua minggu lagi akan ada pameran lukisan di Gedung Kesenian Jakarta. Mungkin saja ada kolektor yang tertarik dengan hasil karyamu.” Mr. Jonathan meyakinkan. Tapi Fajar, tidak bereaksi apa-apa. Dia sadar, lukisannya hanya sebatas lukisan jalanan. Goresannya jauh dari para pelukis-pelukis di pameran sana.

“Ok… saya pulang dulu. Satu bulan lagi saya akan datang untuk mengantarkan uangmu.” Mr. Jonathan melangkah jauh, dan hilang di antara lalu-lalang manusia di seok jalanan itu.

***

Bandung, 30 April 2011

Pondok Big Boy membahana. Tidak ada yang ulang tahun, dan tidak ada acara moment penting. Yang terpenting, pesta. Seseorang membawa kaset video istimewa. Kursi-kursi dipinggirkan ke tepi dinding. Karpet digelar. Video dipasang.

Semua penghuni Big Boy ikut serta. Music house memenuhi pondok Big Boy. Beberapa pasangan segera turun ke tengah ruangan yang telah di sulap menjadi tempat disko. Sebagian kecil sibuk bertransaksi di sudut ruangan. Benda-benda seperti lintingan rokok, pil-pil warna-warni berpindah tangan dengan cepat.

Semakin malam pondok Big Boy semakin membahana. Tampak  beberapa wajah-wajah kosong dan hampa duduk-duduk di tepi ruangan.  Sebagian masih terus berdisko tanpa kenal lelah. Sebagian berkerumun di depan blue film. Sebagian yang lain yang tidak tahan mencari kamar kosong. Tidak harus berdua, ada pula yang secara rombongan.

***

Jakarta, 26 Juni 2011

“Hah, lima puluh juta!!” Setengah terkejut Fajar menerima uang itu. Mr. Jonathan mengangguk pasti.

“Seorang kolektok tertarik dengan karyamu dan telah membelinya dengan senang hati.” Ucap Mr. Jonathan dengan bangga.

“Tidak… tidak… Mr. Jonathan, saya tidak berhak menerima uang ini. Ini semua karena Mr. Jonathan, maka ini adalah hak anda.” Fajar masih tidak percaya jika karyanya memiliki harga setinggi itu.

“Tidak Fajar, ini milik kamu.” Jawab Mr. Jonathan sambil menggerakan telunjuknya ke kiri dan ke kanan. Fajar masih tidak percaya. Apakah setinggi itu harga lukisannya? Inikah buah dari perjuangan masa kecilnya, membanting tulang demi membeli sebuah pensil dan kertas? Beribu tanya tumbuh di antara rasa tidak percayanya.

“Fajar…! Fajar…! Sudahlah kau tak perlu berpikir panjang lagi. Tuhan Maha Pemurah bukan, dan ini bukti kemurahan Tuhan padamu.” Ujar Mr. Jonathan, memecah lamunan Fajar.

“Terima kasih tuan. Saya tidak tahu bagaimana saya harus membalas budi anda, sekali lagi terima kasih.” Ucap fajar tersenyum seraya menjabat tangan Mr. Jonthan.

“Sama-sama Fajar, hari sudah semakin malam. Sebaiknya kamu segera pulang, sampai jumpa.” Mr. Jonathan mengakhiri pertemuannya dan meninggalkan Fajar, lambaian tangan Mr. Jonathan hanya ditatap Fajar dengan kaku.

***

Bandung, 01 Mei 2011

Aldo baru saja bangun tidur setelah pesta kemarin malam. Matanya masih mengantuk, tapi matahari telah tinggi. Di sampingnya tidur dengan pulas Shera. Dia melangkah keluar kamar setelah menghindari dua tubuh kawannya yang bergelimpangan di atas lantai berkarpet. Malas-malasan dia meraih gelas teh manis buatan Bik Nah yang selalu diletakan di meja makan setiap pagi.

“Sial.” Anto mengumpat kecil. Minumannya telah dingin.  Di sandarkan kepalanya ke wajah kursi, menatap langit-langit. Rasa jengkel Aldo tidak berlangsung lama, dia teringat Shera. Senyum puas terlukis di bibirnya.

Bandung, 26 Juni 2011

Aldo suntuk. Banyak masalah yang harus dihadapinya. Nilai semesternya kemarin hancur. Orang tua marah dan mengancam akan memotong uang bulanannya. Tanpa uang itu, Aldo tidak mungkin mendapatkan benda pembawa kenikmatan itu, dan tidak mungkin dapat bersama Sherin. Tidak ada Sherin berarti lenyap juga seluruh kesenangannya.

Arrgh, dosen keparat. Masih saja sok idealis, padahal uang satu juta telah ditawarkannya. Apa susahnya merubah nilai D menjadi B? toh tidak aka nada yang tahu!! Pikiran Aldo benar-benar suntuk.

***

Jakarta, 26 Juni 2011

Fajar terdiam antara senang dan gelisah. Ibu, apa yang akan dipikirkannya. Apa yang akan Ibu katakan nanti, Ibu pasti tidak akan percaya dengan hal ini. Jika hanya seratus atau seratus lima puluh ribu mungkin Ibu masih percaya. Tapi lima puluh juta, siapa yang akan percaya untuk golongan miskin seperti Fajar. Segera di tepisnya berbagai tanya dan rasa di hatinya. Buru-buru Fajar berkemas untuk pulang, dan sekali lagi ditatapnya uang di dalam tasnya.

Tangan fajar memegang erat tasnya. Pikirannya kalut, lagi-lagi teringat uang itu. Di hirupnya nafas panjang kemudian membuangnya pelan seakan menghempas segala beban hidupnya.

***

Keesokan harinya, Bandung

Hari ini adalah hari ketiga Aldo absen menghisap lintingan surganya. Badannya lemas, kepalanya pusing, mulutnya terasa kering. Hatinya hanya bisa mengutuk kawan-kawannya yang biasanya setia memasok barang istimewa itu.

Fajar hanya termenung menatap lagit sore, mengingat-ingat setiap episode kehidupan yang telah dilaluinya. Lamunannya terhenti saat tiba-tiba dia di kejutkan oleh sebuah lemparan sebungkus rokok ke tubuhnya.

“Fajar, biasa.” Ujar Alex sambil menggerakan tangannya seraya membentuk tubuh wanita.

“Yang oke ya!” lanjutnya. Kali ini Fajar tidak bisa menolaknya. Kemarin dia menolak Tom, dan sebelumya dia juga sudah menolak Beny untuk melukiskan gambar-gambar eksentrik untuk mereka. Dan kali ini Alex, dia tidak dapat menolaknya. Jika dia menolaknya, habis sudah dirinya.

Fajar segera menyiapkan alat-alatnya. Selama ini, hanya inilah pekerjaannya. Mangkal di tempat-tempat nongkrong preman jalanan. Hanya untuk makan dan uang dia harus melukiskan gambar-gambar eksentrik yang tak pernah diinginkannya. Ah, mungkin inilah lukisan terakhir kali baginya.

Vina Nur Azizah
Tangerang on January 15th 2013
Categories: Short Story | Tinggalkan komentar

Duka Dibalik Jeruji

Di balik jeruji, Aceng menangisi nasibnya yang malang. Tetapi Aceng terpaksa, dia tidak punya pilihan lain saat itu. Aceng bangkit dari pembaringannya, di peganginya tiang-tiang jeruji yang telah berkarat, bahkan ada yang sudah keropos. Aceng mengamati keadaan sekelilingnya dengan tatapan kosong. Beberapa bagian cat tembok sudah terkelupas, tidak jelas warna aslinya, krem atau putih. Tak terasa bulir-bulir bening mengaliri pipinya, air matanya menitik. Dia memukul-mukuli kepalanya.

***

Langkah-langkah itu terus menjalar, beriring derit yang menunjukan usia lantai bambu yang telah lama. Derit itu terus menyapa hingga akhirnya menghilang, di hadapan pintu kayu tanpa cat dan penuh dengan gambar tempel.

Pintu itu di ketuk, menuntut untuk masuk. Seorang anak kecil berusia delapan tahun, meringkuk gemetar di balik selimutnya. Dia terlalu takut untuk beranjak, meski hanya untuk sekedar membuka pintu. Pintu itu  kembali di ketuk. Iramanya semakin banyak meski tetap pelan, seolah enggan memecah sunyi malam.

“Nak… buka pintunya!” bisik suara itu.

Anak kecil tetap bergeming dalam selimut. Tubuhnya semakin gemetar serata bercucuran keringat. Keringat kegelisan dan ketakutan.

“Nak!” bisik suara itu kembali, dengan nada sedikit keras.

Anak kecil beringsut dan terpaksa bangun dari dipannya. Perlahan di putarnya anak kunci dalam lubang pintu. Klik…klllliiik. Pintu terbuka, langkah itu terburu-buru masuk dan menutup erat kembali pintu itu.

***
Sekali lagi, lantai itu kembali berderit-derit. Anak kecil kembali merapatkan lututnya ke dada di balik selimutnya. Kedua bahu anak kecil kembali berguncang hebat. Pintu kembali di ketuk.

“Nak!” Bisik suara itu galak.

Menuntut untuk pintu segera dibuka. Di katupkannya rapat bantal tepos-nya ke wajah, untuk menyerap kesedihan yang kian merundungnya. Suara ketukan kian mengeras, menambah kegelisahan dan ketakutan anak kecil itu. Bergegas dibukanya pintu tanpa cat itu, pintu yang di baliknya menyimpan wajah yang tegang dan pucat. Anak kecil menunduk gelisah.

“ Sudah berapa kali aku bilang, Jangan kunci pintu! mengerti kau?” anak kecil terlihat semakin takut, mengangguk pelan. Jejak-jejak kesedihan masik tampak jelas terlukis di wajah anak kecil yang kini berumur dua belas tahun. Sementara pemilik suara itu menatapnya tajam.

“Kenapa menangis?”

“Aku takut, pak.” Ragu-ragu anak kecil menjawab.

Seketika wajah itu berubah ramah, ramah yang misterius dan tetap menakutkan. Perlahan di dekapnyatubuh kecil di hadapannya.

“Takut? Sini sayang, sini sama Bapak. Sini peluk Bapak!”

Tapi saya takut, takut sama BAPAK! Teriak anak itu dalam palung hatinya. Isaknya semakin keras, memecah sunyinya malam yang kian gelap nan pekat.

***
Pintu terbuka lebar. Langkah-langkah yang mengendap membangunkan anak kecil yang kini beranjak remaja. Menghapus mimpinya. Mimpi untuk tetep terlelap hingga dia tak akan pernah lagi bertemu malam-malam kesengsaraan yang selau menyiksannya tanpa belas kasih.

“Nak!”  suara itu berbisik.

Perlahan anak kecil itu membuka matanya yang sembab. Senyum di bibir Bapak menghilang seketika.

“Kenapa kau menagis?!” tanyanya tajam.

Anak kecil menggeleng kuat-kuat, berusaha menahan bulir-bulir air matanya.

“Kenapa? Takut sama Bapak?”

Anaknya tetap diam, tak ingin menjawab. Tetapi tubuhnya kian terguncang hebat, tak kuat menahan perih.

“Jangan pak, jangan sekarang! Aku mohon, Pak.” Anak kecil memohon.

‘Kenapa?” sorot mata Bapak menatapnya liar.

“Sa..saya…saya masih sakit, Pak. Sakit sekali. Se…semalam…bapak kasar sekali…sa…saya kesakitan pak…luka…” Anak kecil malang itu mendesis. Mata Bapak menatap tajam dan menyipit. Anak kecil semakin ketakutan dan gemetar. Tuhan, aku mohon hentikan semua ini. Hentikan!

Bapak belum beranjak dari sisi anaknya. Matanya semakin liar seperti menelajangi tubuh anak di sampingnya. Melihat anaknya kesakitan, Bapak mengurungkan niatnya. Hasratnya menyusut seketika, maski tak urung membuaknya dongkol. Dibantingnya pintu dengan keras dan bergegas menuruni tangga.

***
Malam semakin merapat,. Rembulan berdiri tegak menatap wajah bumi. Ronanya putih dan bersinar-sinar, menyala-nyala, menerangi kegelapan malam. Mata Aceng menatap nanar bulan di hadapannya. Bulan yang tampil sempurna, memberi kesejukan pada mata yang telah letih. Sejurus kemudian Aceng tersenyum, Tuhan inikah kebahagiaan terindah untuk diriku?

Di bawah remang cahaya rembulan Aceng terus melangkah, meniti jalan-jalan sunyi. Tiba-tiba Aceng menangkap samar-samar suara jerit perempuan. Suaranya kadang terdengar dan kadang tidak, seperti di bungkam dari belakang. Aceng berusaha mencari sumber suara itu. Di kejauhan samar-samar di lihatnya seorang laki-laki mendorong-dorong seorang anak perempuan. Kedua tangan anak perempuan terikat ke belakang. Laki-laki itu mendekap tubuh mungil anak perempuan dan mendorongnya agar mau berjalan. Refleks Aceng mengikuti mereka dari kejauhan. Mereka berbelok dan memasuki sebuah kebun kosong, laki-laki itu berusaha memperkosa sang anak perempuan. Anak perempuan terus meronta-ronta dan menendang-nendang laki-laki itu. Aceng geram melihat kejadian itu, amarah perlahan menyusup di rongga dadanya. Setelah beberapa menit Aceng mencoba menyusul lebih dekat dan mencari tempat yang lebih terang di terpa sinar rembulan agar mampu melihat wajah laki-laki dan anak perempuan. Semakin dekat dan semakin jelas wajah-wajah itu, semakin berdegup kencang pula gemuruh jantung Aceng. Wajah itu, wajah yang selama ini telah begitu di kenalnya. Gigi Aceng gemeretuk, tiba-tiba…

“Bapak jangaaaaan!” Aceng tersentak menyaksikan tubuh mungil itu di tusuk oleh Bapaknya. Perlawanan anak perempuan seketika terhenti, nafasnya begitu berat dan  lemah tidak berdaya.

Penuh emosi Aceng menarik baju Bapaknya dari belakang. Bapak kaget saat tubuhnya ditarik.

“Jangan kasari Siti, Pak!” ucap Aceng tegas. Bapak melotot ke arahnya. Matanya merah membara, pandangannya menciutkan nyali Aceng. Bapak tidak memperdulikan Aceng. Kini Bapak sudah tidak bisa dikuasai. Bapak meninju wajah Aceng. Aceng terkejut setengah mati ditinju sekeras itu. Pipi kirinya tersa panas dan sakit sekali. Emosi Aceng kini sudah tidak bisa ditahan lagi. Matanya sudah memerah menahan bendungan air mata dan amarah yang kian membuncah di dadanya.

Aceng benar-benar kalut dan panik. Dia tidak bisa melihat sahabatnya di perkosa dan dianiaya  oleh bapaknya sendiri. Ketika matanya tertuju pada sebuah batu besar di sampinya salah satu pohon pisang, langsung diambilnya. Dan tanpa berpikir panjang, Aceng menghantamkan batu berat itu berkali-kali ke punggung Bapaknya. Yang ada dalam benaknya saat itu hanya menyelamatkan Siti, sahabat yang mau menerima dia apa adanya, meski dia telah kehilangan jati diri sebagai anak laki-laki.

Bapak terkapar berlumuran darah. Punggungnya terkoyak-koyak. Malam semakin merapat pada peraduannya, meninggalkan bercak darah yang mewarnai lantai bumi.

Vina Nur Azizah

Tangerang on January 19th, 2013

Categories: Short Story | Tinggalkan komentar

New Years Eve for Rena

New Year Eve…

Hujan di penghujung senja Desember mengalunkan nada-nada orchestra alam yang membasahi lantai bumi. Pekat serbuk embun pelahan merambat sunyi. Menghadirkan aroma senyawa hara yang menyelami setiap waktu yang pernah terlewati bersamamu. Aku masih suka duduk disini, di balkon rumahku memandangi hujan seakan menghitung setiap titiknya. Dulu aku bilang kau aneh, karena setiap kali kau menikmati hujan kau selalu memejamkan matamu. Tapi kau selalu menjawab, bahwa hujan bukan sekedar tetesan air yang jatuh ke bumi tapi melodi alam yang mampu membawa kita beranjak menuju negeri kedamaian.

“Cobalah kau pejamkan matamu dan tajamkan pendengaranmu Rena, resapi irama titik hujan yang mengalun bersama desau angin. Seolah mendengar orchestra alam sederhana dan makhluk-makhluk dari negeri langit menyanyikan lagu dan berpesta”. Kata Rey padaku di suatu senja hujan.

“Kau benar Rey, dan makhluk-makhluk dari negeri langit yang kau maksud adalah kodok-kodok yang sedang bernyanyi dan berpesta karena hujan turun bukan? Hahaha..” Aku tertawa. Kau kesal dan kau mencubit kedua pipiku hingga mengaduh kesakitan.

Aku masih duduk disini untuk tetap memandangi hujan. Mengenangmu dalam memoriku yang masih tertinggal, sebab hanya pada derai hujan aku menemukan sosok Rey dan menguraikan segala keluh dukaku di setiap tetesannya.

***

Masih ingatkah kau, Rey?

Dulu setiap kali kita memandangi hujan kau selalu memetikan gitar dan melantunkan lagu ‘Hujan’ untuk aku. Namun tiba-tiba, di suatu hujan diatas balkon rumahmu ada yang merebut gitarmu dengan kasar dan membantingnya.

“Braakk…!!” gitar coklat tua itu pun hancur berantakan. Kulihat ayahmu berdiri penuh amarah belum puas melampiaskannya, dia pun menginjak-injak serpihan gitar itu. Sementara kau hanya tertunduk dalam. Kita hanya mematung seakan terpaku pada bumi bahkan untuk bernafas pun sesak.

“Belajar yang serius, bukan malah jrang jreng jrang jreng. Mau jadi apa kamu?! Lihat Laluna yang selalu jadi juara, apa kamu tidak malu?! Mulai sekarang ayah tak mengizinkan kau memegang benda keparat ini. Paham kau!?!” suara ayah Rey menggelegar memecah keheningan malam yang hujan. Kami hanya menunduk dan ayah Rey membalikan tubuhnya kemudian pergi. Aku memandangi Rey dengan mata yang berkaca-kaca tapi kau tersenyum getir, mencoba menguatkan aku seolah tak terjadi apapun. Perlahan kau genggam jemariku dan memeluk tubuhku yang mungil hingga tangisku pun pecah.

***

Di malam pergantian tahun gerimis perlahan turun dan aku hanya duduk di balkon sambil memandangi langit yang semakin hitam. Tiba-tiba.

“Daaarr…” kau datang mengagetkan aku. Aku terkejut dan kau terkekeh, aku kesal dan cemberut tapi kau malah mencubit kedua pipiku sambil tersenyum. Aku pun tersenyum.

“Kau tunggu sebentar disini, aku punya sesuatu buat kamu” kataku.

“Apa?” Tanyamu sambil mengerutkan kening tapi aku hanya tersenyum penuh rahasia dan kemudian pergi.

“Ini kado tahun baru buat kamu” kataku seraya memberikan gitar kepadamu.

“Darimana kau punya uang untuk membeli gitar ini?” Tanyamu penasaran tapi tak mampu menutupi perasaan senang dan kaget.

“Tenang saja, aku punya tabungan kok. Lumayanlah biarpun gak mahal yang penting kamu bisa main gitar lagi.” Jawabku sambil tersenyum dan kau mencium keningku kemudian memetikan gitarmu dan melantunkan lagu ‘Hujan’.

***

Tahun baru di sebuah desa di lereng gunung Bromo.

“Rena, aku bersyukur Tuhan telah mengirimkan bidadari untukku. Aku tak tahu bagaimana jika kau tak ada di sampingku.” Bisik Rey lirih.

“Melihat kau tersenyum dan bahagia adalah hal terindah yang aku miliki, Rey.” Jawabku.

Di langit mendung mulai menggantung. Rintik gerimis perlahan menjatuhi daun-daun rimbun flamboyant. Kami berteduh dibawah rantingnya yang lebat. Hujan semakin deras.

“Kau tahu Rena betapa aku sangat mencintai hujan dengan segala keindahannya tapi semua itu hanya kehampaan jika kau tak ada, karena kaulah yang telah menyempurnakannya menjadi indah dan bersahaja.” Ucapmu, kau belai keningku yang basah oleh titik-titik hujan dan menciumnya. ‘Tuhan, jika ada kebahagiaan terindah di malam pergantian tahun maka rasanya tak ada yang mampu menandingi kebahagiaanku malam ini.’

Pada pagi di tahun baru, di puncak Bromo, kau mengajakku menuju salah satu bibir kawah Bromo, melewati hamparan gurun pasir. Kita menyaksikan matahari yang jatuh tergelincir jatuh di balik gunung Semeru. Kita mengagumi pusaran angin yang bergelung-gelung, membuat pasir-pasir berjumpalitan dan seolah saling berbisik menyeru kepada angin yang menerbangkan butirannya. Kami pun bersaksi atas nama cinta dari Sang Penguasa Semesta yang perlahan mengalir kian deras dalam nadi.

***

Tahun Baru di lereng gunung Halimun Salak

Kabut dan kegelapan perlahan menyelimuti bumi. Aku dan Rey hanya duduk di bale bambu di tengah hutan pinus dan cemara, menatap rinai hujan yang menderas tanpa henti sejak pukul dua siang. Gemuruh petir dan halilintar pun saling bersahutan. Mahatari bener-benar tak menampakan cahayanya. Kulihat wajah Rey menyiratkan kekecewaan meski dia tetap menikmati hujan seperti biasanya. Rey memang ingin mencapai Kawah Ratu dan merayakan detik-detik pergantian tahun di bibir kawah, tapi alam berkata lain. Aku pun berharap hujan segera berhenti dan menyisakan kilauan pelangi sang masterpiece untuk kami.

“Jika boleh aku meminta kepada Tuhan. Aku ingin waktu berhenti disini, saat kita menikmati hujan di malam pergantian tahun. Hanya kau dan aku. Aku mencintaimu, Rena.” Ucapmu lirih sambil memelukku yang duduk berdampingan kemudian mencium keningku. Air mataku pun perlahan bergulir mengaliri kedua pipiku, aku bahagia. Do’a kasih bergulir pada setiap detak jantungku seolah merayakan cinta, Rey dan Rena.

***

Tahun baru di Danau Ranu Kumbolo

“Kau tahu Rena, Danau Ranu Kumbolo ini adalah satu dari sejuta mimpiku untuk berada disini bersamamu! Here we come!” teriakmu ketika kita tiba di desa Ranu Pane. Hujan baru saja berhenti di senja Danau Ranu Kumbolo. Pukul dua sore, cuaca telah berkabut dan sangat dingin. Matahari pun mulai tenggelam di ufuk barat, membawa cahaya hangatnya. Danau di pegunungan Tengger-Semeru dengan ketinggian 2500 meter di atas permukaan laut menyuguhkan keindahan panorama alam yang luar biasa. Sawah-sawah menghampar luas, kabut tipis keemasan perlahan melayang-layang di atas permukaan danau.

“Lihatlah, itu Mahameru. Puncak abadi para dewa. Mahameru adalah puncak impian setiap pendaki.” Bisikmu seraya memelukku yang menahan gigil di sekujur tubuh meski telah terbalut lapisan-lapisan baju penghangat. Asap tipis keluar dari hidung dan mulutmu saat kau berbicara sambil memandang puncak Semeru yang mengepulkan wedus gembel setiap 15 menit.

“Kau ingin mencoba tanjakan cinta? Konon, jika kita berhasil melewati tanjakan terjal itu tanpa menoleh ke belakang, harapan cinta kita akan terkabul.” Ucapmu seolah menantangku untuk mendaki tanjakan cinta.

“Buat apa aku mendaki tanjakan cinta jika cintaku telah tercapai bahkan kini sedang memelukku?” jawabku sambil mendelik ke arahmu. Kau tertawa dan mengeratkan pelukanmu, aku tersenyum. Harapan keabadian cinta pun turut mengalir dalam setiap denyut nadi kami diatas bumi keindahan Ranu Kumbolo.

***

Hari-hari selanjutnya berlalu dengan di penuhi poster-poster konser music sebuah grup band yang sedang naik daun. Aku bahagia, Rey telah mampu menunjukan kemampuannya pada semua orang termasuk ayahnya. Pertemuan kami pun menjadi kian jarang, bahkan kecanggihan telekomunikasi pun tak dapat menjembatani kerinduanku pada Rey. Tapi aku mencoba memahaminya, karena memang begitulah resiko menjadi pacar seorang gitaris band ternama, ucap Rey mencoba menghiburku.

Di malam penghujung tahun disela-sela kesibukan kru yang mempersiapkan konser terbesar akhir tahun kami berjanji untuk bertemu.

“Apa kabarmu sekarang?” tanyaku ragu.

“Aku baik-baik saja. Kau bagaimana, Rena? Maaf, aku belum sempat ke rumahmu apalagi merayakan pergantian tahun bersamamu seperti tahun-tahun sebelumnya.” Ucapnya diantara kesibukan orang-orang di sekitar kami.

“Kau semakin tak punya waktu. Aku tak berharap banyak bisa seperti tahun-tahun kemarin.” Kataku tak menutupi kecewaku padanya.

“Jangan berbicara begitu, sayang. Aku janji setelah konser ini akan bersamamu. Kau sabar yah.” Dia menatapku dengan senyum manisnya. Dia tahu aku tak akan sanggup menolaknya dan akhirnya mengangguk.

“Oke, I’m waiting. Tapi jangan ingkar janji lagi.” Kataku.

“Pasti, aku janji.” Jawabnya yakin sambil mengangkat jari kelingkingnya seperti anak kecil yang mengajak meminta maaf, aku membalasnya. Dan kami saling menautkan jari kelingking, janji.

“Rey, semua sudah siap, tinggal elo.” Tiba-tiba seorang gadis cantik muncul dari balik ruang. Rey bergegas memberiku satu kecupan di kening.

Terompet tahun baru bersahutan dari segala penjuru dan pesta kembang api pun turut mewarnainya. Rey mengajakku untuk menikmati kembang api dari balkon hotel tempat kami bertemu. Tak lama kemudian rintik hujan menetes membasahi orang-orang yang sedang berpesta di jalanan.

“Tahun depan jadwalku semakin padat. Kau tahu Rena penjualan kami semakin melejit. Jessie sudah mengatur tour kami di seluruh Indonesia bahkan rencana untuk konser di luar negeri juga. Jessie memang manager yang pantas untuk diandalakan.” Kulihat Rey begitu bahagia malam ini. Sesekali percikan kembang api menerangi wajahnya yang semakin gagah.

“Aku tahu dan itu berarti sangat kecil kemungkinan untuk kita bisa mendaki gunung bersama lagi seperti dulu. Mungkin juga nanti aku tak bisa lagi menghabiskan malam-malam pergantian tahun bersamamu dan kita akan semakin jarang bertemu bukan?” Kataku datar.

“Aku akan mengaturnya sebaik mungkin. Tenang saja Rena, kau adalah prioritasku.” Dia merengkuh tubuhku dengan bahunya yang kekar dan mencium keningku, perlahan kehangatan seakan mengalir ke dalam tubuhku.

“Aku ingin kau selalu memakainya.” Kataku sambil mengalungkan scraft di lehernya.

Kami melewati malam diantara gerimis. Menelusuri sepanjang kota, menikmati kuliner yang berjajar di kaki lima, dan berlarian di bawah hujan. Malam yang panjang terasa begitu singkat bagiku. Rey mengantarku ke hotel setelah fajar mulai datang. Setelah mengucapkan selamat tinggal dia pun berlalu, sejenak dia berbalik kemudian mengikatkan scraft dilehernya dan berbisik, “thank’s, Rena.”

Aku mengangguk dan hendak berbalik masuk tapi tiba-tiba kau menarik tanganku.

“Maafkan aku, Rena. Aku harus pindah ke Bandung dan akan segera menikah dengan gadis pilihan Ayah.” Ucapmu pelan namun penuh kesungguhan. Aku bagai disambar petir di siang hari, tiba-tiba tubuhku terasa lemas dan penuh ketidakpercayaan.

“Apa maksudmu, Rey?” Ucapku seraya menahan air mata, kau hanya diam.

“Rey, jawab aku. Apa maksudmu?” Kataku dengan nada yang mulai meninggi. Tapi kau masih diam dan kemudian berbalik meninggalkan aku di depan pintu hotel. Hujan di awal tahun terus menderas seperti tahun-tahun lalu saat bersamamu.
***

Aku masih duduk disini, di balkon rumahku memandangi hujan seakan menghitung setiap titiknya. Mendengar orchestra alam sederhana dan makhluk-makhluk dari negeri langit menyanyikan lagu, seperti katamu dulu.

“Kak Rena, ini ada surat untukmu dari Kak Rey. Kak Rey menitipkan surat ini tapi tidak boleh di buka sebelum tahun malan pergantian tahun. Dan malam ini adalah malam yang tepat, malam pergantian tahun. Seperti pesan Ka Rey.” Kata Nadine yang entah sejak kapan berdiri di belakangku. Aku menerima surat itu dengan gemetar. Perlahan aku buka surat itu. Tulisan tangan Rey.

“Malam ini adalah malam pergantian tahun. Telah banyak kenangan yang kita ukir bersama pada detik-detiknya. Kau selalu bahagia untuk menantinya meski hujan selalu turun. Aku pun turut berbahagia karena dari tempatku berada, aku percaya aku dapat melihatmu. Melihatmu tersenyum meski tak lagi di bersamamu.

Maafkan aku, Rena. Karena aku telah menginggalkanmu tapi sebenarnya aku tak pernah benar-benar melakukannya. Aku pergi bukan untuk menginggalkanmu tapi untuk menjadi abadi bersamamu.

Maafkan aku, Rena.

Aku yang mencintaimu dan akan terus mencintaimu. Hari ini, esok, dan seterusnya.

Reyhan.”

Tanpa terasa air mataku menetes. Aku mengigit bibir, berusaha menahan hujan di mataku. Tapi aku tak kuasa, air mataku kian menderas.

“Maafkan Kak Rey. Aku tahu selama ini Ka Rena terluka, kecewa, dan marah padanya. Tiga bulan yang lalu media memberitakan Rey pindah ke Paris untuk melanjutkan studinya adalah kebohongan begitu pula dengan pernikahanya. Kanker otak telah merenggut nyawa Ka Rey. Kanker otak yang memang telah lama menjalari tubuhnya tapi dia tak mau ada yang mengetahuinya termasuk Ka Rena. Dia tak mau Ka Rena menangis, karena kata Kak Rey, ‘aku lebih baik melihat Rena marah daripada harus melihat Rena menangis’.”

Titik-titik air memenuhi bulu mataku diantara terpaan angin dan hujan. Tapi aku masih duduk disini. Menghitung setiap tetesan air yang jatuh ke bumi, mendengar dengan samar nyanyian dari negeri kedamaian. Tapi kini nyanyian itu terdengar begitu jelas, begitu dekat, kerena nyanyian itu melantun dari palung hatiku. Aku mencintaimu, Rey.

…The End…

Vina Nur Azizah

Happy New Year 2014

 

Categories: Short Story | Tinggalkan komentar

Sekeping Luka dari Cahaya Malam

Cahaya bulan membenamkan kembali ingatanku tentangmu
pada rongga dada yang perih
Sajak-sajak usang kembali terkuak waktu
Seperti buih menggenang di aliran darahku yang saga
kemudian memucat menyesapi racun tentang kebiadaban cinta yang tak pernah dipahami para perempuan
Atau kisah dua sejoli yang kekasihnya pergi dan tak diketahui keberadaannya sedang di langit sebelah mana ia menyimpan dirinya yang dulu mencurahkan tawa serta tangisnya begitu rupa
yang airmatanya lalu menadah kedua telapak tangan yang luka
lalu kulit terkelupas dari dagingnya hanya untuk membalut hati kekasihnya yang menggigil.

Tidak pula dengan hujan bulan november yang melegenda
Airmata akan menunjukkan jalanku kembali menyusuri gelap jalan fikirku setelah kepergianmu
untuk menemukanmu kembali terpekur menunggu minyak yang akan memijarkanmu menjadi bintang
Dan kilatan petir menyatu menjadi purbawi atau asali yang manis diatas lautan tenang yang memantulkan binar-binar bintang di langit utara dan akan kukembalikan kau kesana selayak Sirius yang berpijar seterang-terangnya.

Vina Nur Azizah

Tangerang on November 27th, 2015

Categories: Short Story | Tinggalkan komentar

Setahun Rindu

Dan diantara waktu yang berlarian pada poros bumi layaknya air terjun Niagara yang menyerbu-nyerbu, cepat dan kuat. Kita mengukir kisah dibawah matahari diantara cahaya fajar menuju senja.

Entah harus dengan apa aku memulainya sebab kini yang kumiliki hanya setangkai do’a yang masih terbingkai dalam dzikir-dzikir ku. Do’a yang sama meski tak serupa. Seperti juga kita.
20 November.. tepat satu tahun aku mengenal mu. Ya, kau yang sama namun tak serupa. Semuanya telah berbeda. Bahkan aku pun tak tau mengapa kau begitu membenciku, menjauhiku seperti bumi dan matahari padahal kita pernah sedekat jari telunjuk dan jari tengah. Lalu konyolnya aku masih suka membuka catatan lusuh dan sedikit berdebu. Yang menyimpan cerita penuh peluh hanya untuk sedikit damai yang membasuh dan asmara juga sekeping hatimu yang tertinggal. Alunan serenade ini mungkin tak utuh tapi inilah hatiku. Hati yang masih sama sejak beberapa bulan lalu berhenti untuk mencintaimu.
Waktu boleh tertinggal jauh tapi aku masih berdiri disini, terombang ambing mencari hati tempat berlabuh. Pikirku dan pikirmu biarkan tak sama karena kita memang terlahir dari rahim yang berbeda. Serupa bedanya gradasi pelangi selepas hujan. Namun, sketsa wajahmu masih kusimpan bersama sejuta mimpi, lekuk dan aroma tubuhmu masih kurasakan. Berharap kita mampu mengingat kenangan malam yang menggeliat meski tak mungkin.
Ah, sudahlah lupakan nostalgia yang sedikit gila dari hati yang tak tau malu untuk masih berkata tentang rindu.

Lalu biarkan waktu membunuhnya.….!!!

Categories: Short Story | Tinggalkan komentar

Detik

Alkisah, seorang pembuat jam
tangan berkata kepada jam yang
sedang dibuatnya.
“Hai jam, apakah kamu sanggup
berdetak 31,104,000 kali selama
setahun?””Ha?”, kata jam terkejut,”Mana sanggup saya?”
“Bagaimana kalau 86.400 kali dalam
sehari?”
“Sebanyak itu? Dengan jarum yang
ramping-ramping seperti ini?”,
jawab jam penuh keraguan.
“Bagaimana kalau 3.600 kali dalam
satu jam?”
“Dalam satu jam 3.600 kali? Banyak
sekali itu”, jawabnya dengan ragu.
Tukang jam itu dengan penuh
kesabaran kemudian berbicara
kepada si jam, “Kalau begitu,
sanggupkah kamu berdetak satu kali
setiap detik?”
“Nah, kalau begitu, aku sanggup!”,
kata jam dengan penuh antusias.
Maka, setelah selesai dibuat, jam itu
berdetak satu kali setiap detik.
Tanpa terasa, detik demi detik
berlalu dan jam itu sangat luar biasa
karena ternyata selama satu tahun
penuh dia telah berdetak tanpa
henti sebanyak 31.104.000 kali..

Ada kalanya kita ragu dengan tanggung jawab yang nampak begitu berat. Namun, sebenarnya jika kita sudah menjalankannya, kita ternyata mampu.

Maka, berhentilah untuk menyerah dan kalah sebelum berperang.

Masyaallah….

Categories: Short Story | Tinggalkan komentar

Melodi Darah dan Air Mata  

Negeri ini….
Negeri yang mempesona karena keanggunannya, angin semilirnya mampu memberi kesejukan pada jiwa-jiwa gersang. Hijau pegunungan berdiri tegak, menjulang langit. Gurun pasir terbentang bak hamparan permadani. Bagaikan tiada cacat cela pada setiap jengkal keelokan negeri ini. Seakan Allah pun enggan menorehnya.

download (1)

Namun, pesona negeri ini bagai terselubung kabut namun bukan kabut halimun pegunungan. Tapi, kabut yang menyelimuti negeri ini adalah kabut yang menakutkan, kabut kematian!! kabut yang tak hanya membuat aku tersesat dan kehilangan arah, tapi juga membuat aku lenyap dan menghilang.

images (13)

Pesona negeri ini semakin terkikis. Peperangan, penindasan, pembunuhan, kian menggila. Aksi terorisme kian membara, menggelandang ribuan orang yang tertatih mengukur perih. Merampas ratusan nyawa manusia. Wanita-wanita dinodai secara brutal untuk memuaskan nafsu angkara. Anak-anak suci menjadi korban. Tak sempat mereka menjelma menjadi manusia seutuhnya. Merenda hari esok, menggelar anugerah terindah cahaya allah, kini hanya tinggal lembaran sejarah  bersimbah darah dan air mata. Mayat-mayat dibiarkan bergelimpangan di setiap tempat. tak peduli di tempat tidur, di halaman rumah, di jalanan, atau bahkan di tong sampah. Seakan nyawa sudah tak berharga. Rumah-rumah di bakar hingga tingallah puing-puing hitam berserakan. Asap masih terus mengepul. Menyeruakan hawa kebiadaban dan kekejaman, mengentalkan penderitaan dan perjuangan.
condemnisrael2
Sebuah negeri indah bersimbah darah dan air mata. Tangis-tangis pecah, darah-darah tumpah, menyiratkan rintihan luka dan duka yang tiada berujung. Memancarkan amarah yang tak mampu lagi di redam.
***
wallpaper-bendera-dan-muslimah-palestina
Begitulah, hidup mereka bagaikan matahari yang tak henti membara. Tak peduli di terpa hujan atau di hantam badai. Meski tak terlihat matahari akan terus memencarkan cahayanya untuk ada, dan selalu ada. Apa pun yang terjadi sepanjang perjalanan siang, selama penghijrahan malam. Kehidupan pasti ada dan harus dilalui. Jerit, tangis, kehilangan, kematian, perjuangan telah menjadi episode yang harus dihadapi dalam setiap hembusan nafas dan detak jantung.
Bendera_Palestina_by_zan_zany
Terlalu naif jika hanya memiliki tetesan-tetesan air mata untuk mereka. Terlalu malu untuk meminta maaf pada mereka. Terlalu hina jika hanya mampu mendengar jerit duka mereka, menangkap lolong kematian, dan merasa terluka dan tenggelam dalam derita mereka, tapi tak mampu merengkuhnya. Namun, hanya itu yang kini dimiliki. Sedangkan bagi duka dan luka yang terlalu banyak untuk ditelan, hanya sepercik harapan dan setangkai do’a  yang mampu terlahir dari lisan kelu dan kaku hamba yang dhoif. Meski tak mampu merubah segalanya, masih ada harap akan tangan Allah yang  senantiasa membasuh luka-luka nestapa, memberi kesejukan dan kedamaian.
Vina Nur Azizah
Darussalam Islamic Boarding School
Categories: Short Story | Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.

Wonderful Learning.

Budi Waluyo | Let's break the limits..!!

Vina Nur Azizah

Moeslimah's Learner Enthusiast

Study English

Just Believed to God

Icha_chan

Hello guys, welcome to my blog ^^. Here you can search knowledge or some info about Korea

welcome to my blog

let's share what you have