Antara Dua Dimensi

Bandung, Minggu 27 Februari 2011

Suara musik memekakan telinga, meraung-raung memecah setiap sudut ruang rumah kost Big Boy. Sebuah pintu kamar terbuka lebar. Seorang pemuda berambut gondrong acak-acakan asyik tidur-tiduran sambil membulak-balikan majalah Playboy. Jam berdentang dua belas kali. Malam semakin merapat pada kelam, menghembuskan aroma dingin angin malam.

Aldo, pemuda dengan rambut gondrong acak-acakan dengan gerakan sekenanya mengeluarkan sesuatu yang dia simpan dalam lacinya. Dia membuka dan mengeluarkan isi kotak kecil berisi lintingan seperti rokok. Dengan satu hisapan panjang, Aldo telah melayang menembus dimensi lain. Di kamar yang lain ada sepasang pemuda-pemudi yang sedang berasyik-masyuk. Jandela dan pintu tertutup rapat, gorden tebal mengisolasi penghuninya.

***

Jakarta, waktu yang sama

Fajar, pemuda seusia Aldo asyik mecubit-cubit bibir bawahya. Pikirannya melayang pada percakapannnya dengan Mr. Jonathan.

“Jikalau bisa, kenapa tidak kau coba memamerkan lukisan-lukisan ini di pameran-pameran?” Tanya Mr. Jonathan seraya menaut-nautkan lukisan kanvas di atas pagar.

“Tidak Mr. Jonathan, terima kasih untuk tawaran anda karena untuk membeli bingkai saja aku tidak mampu.” Ucap Fajar tersenyum, sesekali tangannya masih menggoreskan warna pada kanvas di hadapannya.

“Aku bisa bantu. Tidak perlu biaya, kau hanya perlu menyiapkan lukisan-lukisan terbaik kamu saja. Dan saya yang akan mengurusnya.” Ujar Mr. Jonathan

“Ah… yang benar saja Mr. Jonathan?” Tanya Fajar kembali sambil tersenyum, dengan penuh rasa tidak percaya.

“Aku tidak sedang bergurau, ini serius. Hari ini aku bawa satu lukisanmu, kebetulan dua minggu lagi akan ada pameran lukisan di Gedung Kesenian Jakarta. Mungkin saja ada kolektor yang tertarik dengan hasil karyamu.” Mr. Jonathan meyakinkan. Tapi Fajar, tidak bereaksi apa-apa. Dia sadar, lukisannya hanya sebatas lukisan jalanan. Goresannya jauh dari para pelukis-pelukis di pameran sana.

“Ok… saya pulang dulu. Satu bulan lagi saya akan datang untuk mengantarkan uangmu.” Mr. Jonathan melangkah jauh, dan hilang di antara lalu-lalang manusia di seok jalanan itu.

***

Bandung, 30 April 2011

Pondok Big Boy membahana. Tidak ada yang ulang tahun, dan tidak ada acara moment penting. Yang terpenting, pesta. Seseorang membawa kaset video istimewa. Kursi-kursi dipinggirkan ke tepi dinding. Karpet digelar. Video dipasang.

Semua penghuni Big Boy ikut serta. Music house memenuhi pondok Big Boy. Beberapa pasangan segera turun ke tengah ruangan yang telah di sulap menjadi tempat disko. Sebagian kecil sibuk bertransaksi di sudut ruangan. Benda-benda seperti lintingan rokok, pil-pil warna-warni berpindah tangan dengan cepat.

Semakin malam pondok Big Boy semakin membahana. Tampak  beberapa wajah-wajah kosong dan hampa duduk-duduk di tepi ruangan.  Sebagian masih terus berdisko tanpa kenal lelah. Sebagian berkerumun di depan blue film. Sebagian yang lain yang tidak tahan mencari kamar kosong. Tidak harus berdua, ada pula yang secara rombongan.

***

Jakarta, 26 Juni 2011

“Hah, lima puluh juta!!” Setengah terkejut Fajar menerima uang itu. Mr. Jonathan mengangguk pasti.

“Seorang kolektok tertarik dengan karyamu dan telah membelinya dengan senang hati.” Ucap Mr. Jonathan dengan bangga.

“Tidak… tidak… Mr. Jonathan, saya tidak berhak menerima uang ini. Ini semua karena Mr. Jonathan, maka ini adalah hak anda.” Fajar masih tidak percaya jika karyanya memiliki harga setinggi itu.

“Tidak Fajar, ini milik kamu.” Jawab Mr. Jonathan sambil menggerakan telunjuknya ke kiri dan ke kanan. Fajar masih tidak percaya. Apakah setinggi itu harga lukisannya? Inikah buah dari perjuangan masa kecilnya, membanting tulang demi membeli sebuah pensil dan kertas? Beribu tanya tumbuh di antara rasa tidak percayanya.

“Fajar…! Fajar…! Sudahlah kau tak perlu berpikir panjang lagi. Tuhan Maha Pemurah bukan, dan ini bukti kemurahan Tuhan padamu.” Ujar Mr. Jonathan, memecah lamunan Fajar.

“Terima kasih tuan. Saya tidak tahu bagaimana saya harus membalas budi anda, sekali lagi terima kasih.” Ucap fajar tersenyum seraya menjabat tangan Mr. Jonthan.

“Sama-sama Fajar, hari sudah semakin malam. Sebaiknya kamu segera pulang, sampai jumpa.” Mr. Jonathan mengakhiri pertemuannya dan meninggalkan Fajar, lambaian tangan Mr. Jonathan hanya ditatap Fajar dengan kaku.

***

Bandung, 01 Mei 2011

Aldo baru saja bangun tidur setelah pesta kemarin malam. Matanya masih mengantuk, tapi matahari telah tinggi. Di sampingnya tidur dengan pulas Shera. Dia melangkah keluar kamar setelah menghindari dua tubuh kawannya yang bergelimpangan di atas lantai berkarpet. Malas-malasan dia meraih gelas teh manis buatan Bik Nah yang selalu diletakan di meja makan setiap pagi.

“Sial.” Anto mengumpat kecil. Minumannya telah dingin.  Di sandarkan kepalanya ke wajah kursi, menatap langit-langit. Rasa jengkel Aldo tidak berlangsung lama, dia teringat Shera. Senyum puas terlukis di bibirnya.

Bandung, 26 Juni 2011

Aldo suntuk. Banyak masalah yang harus dihadapinya. Nilai semesternya kemarin hancur. Orang tua marah dan mengancam akan memotong uang bulanannya. Tanpa uang itu, Aldo tidak mungkin mendapatkan benda pembawa kenikmatan itu, dan tidak mungkin dapat bersama Sherin. Tidak ada Sherin berarti lenyap juga seluruh kesenangannya.

Arrgh, dosen keparat. Masih saja sok idealis, padahal uang satu juta telah ditawarkannya. Apa susahnya merubah nilai D menjadi B? toh tidak aka nada yang tahu!! Pikiran Aldo benar-benar suntuk.

***

Jakarta, 26 Juni 2011

Fajar terdiam antara senang dan gelisah. Ibu, apa yang akan dipikirkannya. Apa yang akan Ibu katakan nanti, Ibu pasti tidak akan percaya dengan hal ini. Jika hanya seratus atau seratus lima puluh ribu mungkin Ibu masih percaya. Tapi lima puluh juta, siapa yang akan percaya untuk golongan miskin seperti Fajar. Segera di tepisnya berbagai tanya dan rasa di hatinya. Buru-buru Fajar berkemas untuk pulang, dan sekali lagi ditatapnya uang di dalam tasnya.

Tangan fajar memegang erat tasnya. Pikirannya kalut, lagi-lagi teringat uang itu. Di hirupnya nafas panjang kemudian membuangnya pelan seakan menghempas segala beban hidupnya.

***

Keesokan harinya, Bandung

Hari ini adalah hari ketiga Aldo absen menghisap lintingan surganya. Badannya lemas, kepalanya pusing, mulutnya terasa kering. Hatinya hanya bisa mengutuk kawan-kawannya yang biasanya setia memasok barang istimewa itu.

Fajar hanya termenung menatap lagit sore, mengingat-ingat setiap episode kehidupan yang telah dilaluinya. Lamunannya terhenti saat tiba-tiba dia di kejutkan oleh sebuah lemparan sebungkus rokok ke tubuhnya.

“Fajar, biasa.” Ujar Alex sambil menggerakan tangannya seraya membentuk tubuh wanita.

“Yang oke ya!” lanjutnya. Kali ini Fajar tidak bisa menolaknya. Kemarin dia menolak Tom, dan sebelumya dia juga sudah menolak Beny untuk melukiskan gambar-gambar eksentrik untuk mereka. Dan kali ini Alex, dia tidak dapat menolaknya. Jika dia menolaknya, habis sudah dirinya.

Fajar segera menyiapkan alat-alatnya. Selama ini, hanya inilah pekerjaannya. Mangkal di tempat-tempat nongkrong preman jalanan. Hanya untuk makan dan uang dia harus melukiskan gambar-gambar eksentrik yang tak pernah diinginkannya. Ah, mungkin inilah lukisan terakhir kali baginya.

Vina Nur Azizah
Tangerang on January 15th 2013
Categories: Short Story | Tinggalkan komentar

Navigasi pos

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.

Wonderful Learning.

Budi Waluyo | Let's break the limits..!!

Vina Nur Azizah

Moeslimah's Learner Enthusiast

Study English

Just Believed to God

Icha_chan

Hello guys, welcome to my blog ^^. Here you can search knowledge or some info about Korea

welcome to my blog

let's share what you have